Dalam benak banyak orang, seringkali tergambar sebuah pertentangan besar antara laboratorium dan kapel. Laboratorium, dengan mikroskop dan tabung reaksinya, dianggap sebagai ranah akal budi, logika, dan fakta yang bisa dibuktikan. Sementara kapel, dengan keheningan dan simbol-simbolnya, dianggap sebagai ranah iman, misteri, dan kepercayaan. Pandangan ini melahirkan mitos bahwa sains dan iman adalah dua kekuatan yang saling menegasikan. Namun, di dalam dinding sekolah Katolik di Yogyakarta, mitos ini dipatahkan setiap hari. Di sini, laboratorium dan kapel bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sayap yang bekerja sama untuk membawa siswa terbang menuju pemahaman akan kebenaran yang utuh.
Laboratorium: Mengagumi Karya Tuhan Melalui Penyelidikan Ilmiah
Pendidikan sains di sekolah Katolik tidak main-main. Kurikulumnya rigor, mengikuti standar nasional dan internasional, mendorong siswa untuk bertanya, menyelidiki, dan berpikir kritis. Metode ilmiah—observasi, hipotesis, eksperimen, analisis—adalah roti sehari-hari. Siswa didorong untuk tidak sekadar menerima dogma, tetapi untuk mencari bukti dan memahami dunia secara rasional.
Namun, ada satu lapisan makna tambahan. Di sekolah Katolik, penyelidikan ilmiah dilihat sebagai sebuah cara untuk mengagumi keagungan dan kecerdasan Sang Pencipta.
Laboratorium menjadi tempat untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dunia ini bekerja, dan setiap jawaban yang ditemukan justru seringkali memunculkan kekaguman yang lebih dalam terhadap Sang Perancang Agung.
Kapel: Menemukan Makna dan Tujuan di Balik Penemuan
Jika laboratorium menjawab pertanyaan “bagaimana”, maka kapel—sebagai simbol dari seluruh kehidupan spiritual di sekolah—mengajak siswa untuk merenungkan pertanyaan “mengapa”.
Di dalam keheningan kapel, melalui doa, Misa, dan sesi refleksi, siswa menemukan kompas moral mereka. Di sinilah mereka belajar tentang martabat setiap pribadi manusia, sebuah prinsip yang menjadi landasan bagi etika ilmiah. Saat di laboratorium mereka mungkin membahas potensi rekayasa genetika, di kapel mereka merenungkan implikasi moralnya. Saat di kelas teknologi mereka belajar membuat kecerdasan buatan, di kapel mereka berdiskusi tentang penggunaannya untuk kebaikan bersama (bonum commune). Kapel adalah ruang untuk menumbuhkan kebijaksanaan, memastikan bahwa kecerdasan yang diasah di laboratorium digunakan dengan hati nurani.
Harmoni dalam Praktik: Saat Laboratorium dan Kapel Bertemu
Harmoni antara iman dan akal budi ini terwujud dalam berbagai kegiatan nyata di sekolah Katolik Yogyakarta:
Mencetak Ilmuwan yang Utuh
Hasil akhir dari pendidikan yang harmonis ini adalah terbentuknya pribadi yang utuh. Lulusan sekolah Katolik tidak hanya dipersiapkan untuk menjadi ilmuwan, dokter, atau insinyur yang kompeten dan terampil, tetapi juga menjadi profesional yang memiliki integritas, welas asih, dan rasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah para pemikir kritis yang tidak kehilangan kemampuan untuk takjub, para inovator yang tidak melupakan kompas moralnya.
Penutup
Di sekolah Katolik Yogyakarta, laboratorium dan kapel tidak saling bertentangan; mereka saling melengkapi dalam sebuah tarian indah untuk menemukan kebenaran. Keduanya adalah ruang suci—satu untuk mengungkap keagungan Tuhan dalam ciptaan-Nya, yang lain untuk menemukan kasih Tuhan dalam perjumpaan personal. Pendidikan yang merangkul keduanya adalah pendidikan yang sesungguhnya holistik, mempersiapkan siswa tidak hanya untuk berhasil di dunia, tetapi juga untuk menjadikannya tempat yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi.
Cerita Kasih
Oleh Yayasan DuaBelas Cahaya Kasih
No HP: 081904104102
Email: admin@ceritakasih.net
Web: CeritaKasih.net